Kau berdiri di sisian kemarau,
lalu kau tersibak angin.
Kemudian Aku melihatmu
bagai sesuatu yang tidak pernah
ada habisnya.
Pandanganmu terlalu baik untuk ku
siakan,
Senyumanmu berarti ketulusan
penuh
Dan kini aku terpaku, bagaimana
bisa aku meninggalkan dirimu?
bahkan barang sedetik saja.
Sebut saja
aku adalah wanita yang sedang di banjur cinta satu bejana malam ini, rasanya
bahagia sekali, bahkan untuk setiap detiknya, walaupun nilai ujianku E tetap
saja aku bahagia. Siapa yang tidak bahagia ketika sedang jatuh cinta? Yang pasti
bukan aku, karena aku terlalu bahagia, sampai terlihat tidak pernah waras
dimata manusia lainnya. Oh, bahkan aku tidak dianggap manusia lagi, tatkala
senyumku merekah, tapi aku sendirian.
Gila? Ya cinta
memang membuat sebagian orang terlihat lebih gila di bandingkan dengan yang
gila. Mungkin, orang gila saja akan menertawaimu, karena dirimu terlihat lebih
gila dibandingkan dengan mereka. Eh, sebentar, kalian? Bukan, maksudnya aku.
Cowok itu, yang
memandangku dari kejauhan, berusaha terlihat cool dan baik-baik saja, tidak terlihat tuh ada rasa ingin tau di
dalam dirinya lebih jauh tentang aku, malang? Biasa saja sih, aku memang
tertarik padanya malam itu, tapi tidak berharap lebih jauh, melihat cincin
(yang sepertinya berwarna perak) itu melingkari jari manisnya, aku jadi kikuk
sendiri. Bagaimana mungkin aku suka dengan cowok yang sudah punya tunangan di
dalam hidupnya? Melirik saja dia tidak akan peduli, tunangannya pasti lebih
cantik dibandingkan aku. Malam itu, rasanya aku ingin menepuk –nepuk pipiku
agar sadar, bahwa aku memang tidak pernah disukai seseorang secara nyata, atau
aku yang sudah tenggelam jauh di dalam dunia imajinasi superku, entahlah,
pokoknya malam itu dia asyik, cowok itu.
Kemudian aku naik
ke atas panggung, kakiku kaku, tanganku dingin, ah ya sudah bisa diprediksi kan
kalau aku hampir koma di atas panggung? Hanya saja waktu itu aku masih berdiri,
dan saat itu aku percaya, bahwa hanya ragaku yang tersisa, jiwaku entah kemana,
ah ya memalukan. Lalu pasti di sela-sela kerumunan ada yang bertanya.
“Ngapain sih cewek itu?”
Niatku sih mau
menampilkan penampilan terbaikku, tapi entah malam itu rasanya sangat
menakutkan, lebih dari sekedar di tolak gebetan atau galau karena terjebak friendzone. Masa bodoh lah, yang penting
aku tampil, aku tidak peduli tatapan menghardik seluruh manusia yang ada di
dalam kafe itu, pokoknya aku harus menjalankan tugasku, lalu selesai. Aku duduk
kembali di kursi penonton, berkumpul bersama teman-temanku yang duduknya paling
pojok belakang sebelah kiri, pokoknya bayangkan saja kafe yang sudah kau
bayangkan sebelumnya, oh iya lampunya remang.
Saat mencapai
pertengahan acara, cowok itu memandu kembali acara malam itu, wah aku merasa
aku sedang memikirkan cowok itu saat itu juga. Tapi aku terus berkedip, aku
harus ingat cincin yang melingkari jarinya itu. Di akhir acara sebelum aku
pulang ke asrama dengan temanku, aku meminta kontaknya. Dia memberiku satu
kontak id dan voila! Dia mulai mengirimiku chat, lalu sejurus kemudian aku
pulang bersama dengan teman asramaku. Lalu ku pikir, ya tidak apalah cintaku ku
tinggal disana. Sebelum tidur, malam itu cowok tersebut mengirimi aku sebuah
pesan yang isinya.
“Tadi kamu keren loh.”
Aku tersenyum,
lalu ku balas.
“Ya memang aku keren.”
Aku pikir setelah
itu dia tidak akan membalas pesanku lagi. Tapi malam itu, kami berkirim pesan
sampai menjelang pagi, dan keesokan paginya aku masuk kelas, dan mengantuk. Tapi
setidaknya aku tau, dia tidak memiliki kekasih, wah kan aku hebat.
Jam menunjukkan
pukul sembilan malam dua hari berikutnya, jumat, dan kami masih saling berkirim
pesan, walaupun tidak sering, tapi aku menikmatinya. Pada hari minggu, kami
bertemu, membahas apapun yang tidak ada pentingnya sama sekali, membahas
sesuatu yang datang lalu pergi, ah ya semuanya juga begitu. Setelah datang
pasti pergi, entah pergi untuk mencari keadaan baru, pacar baru, wanita/pria
baru, atau malah pergi untuk selama-lamanya, aku tidak tau juga. Dia mengantarkanku
sampai ke depan asramaku, dan hujan. Itulah hujan pertamaku saat aku tidak
percaya ada cowok yang, aku harap dia tidak benar-benar sedang tidak sadar
melakukan kesalahan fatal.
Dia memujiku, dia
bilang aku cantik, aku percaya saja karena dia pakai kacamata, ah iya ini sudah
kencan kami yang ke sekian kalinya. Setiap detiknya aku di hujam ribuan kalimat
“Aku menyayangimu.” Dan aku sangat senang mendengarnya, aku memang tipe wanita
yang senang diberikan kalimat manis seperti itu, dan aku yakin itu tulus
darinya, karena apa? Ya ampun coba saja lihat bola matanya, rasanya aku ingin
bertanya padanya, “Mau menikah denganku tidak? Kita arungi mahligai cinta ini
bersama.” Berlebihan ya? Biar saja, aku suka yang begini, walaupun aku ingin
muntah kala aku mengucapkannya. Dia bilang dia jatuh cinta padaku saat
pandangan pertama, tapi kalau aku bilang, aku juga tertarik dengannya pada
pandangan pertama. jadi, kami sudah seimbang kan?
Sejak saat itu,
aku mulai menjadi tidak waras, dibanjuri seribu cinta, dia selalu melontarkan
kalimat kemesraan yang selalu aku impikan saat aku selesai menonton drama
Korea. Dia selalu merindukanku, dia selalu bilang sayang padaku, dan aku tidak
mengerti mengapa aku yakin dia sedang tidak merayuku? Entahlah, takdir mungkin
menuliskan garis ini kemudian. Bersama atau tidak nanti, setidaknya kami,
akhirnya, bersama sampai hari ini. Dari kapan? Dari pertama kali kita bertemu. Mengapa
bisa demikian? Tidak tau, aku bilang, mungkin karena takdir yang menyusunnya
menjadi indah.
Aku sudah bertanya
apakah itu cincin tunangan atau bukan? Dia jawab, bukan. Saat jawaban itu
dilontarkannya, aku mulai mencintainya. Jadi, ehm, jika kamu bertanya, kapan
aku mulai mencintaimu, jawabannya adalah saat aku tau itu bukan cincin
tunanganmu dengan wanita lain. Terimakasih telah mencintaiku benih demi benih,
kau pupuk, kau siram, dan merekah setiap harinya. Aku memang sudah tidak waras,
tapi aku rasa kau telah menabahkan ketidak warasanku, menjadi setara dengan
pasien yang sampai akhir hayatnya di rumah sakit jiwa. Aku mengambil permisalan
begitu karena aku tidak tau, orang yang seperti apa lagi yang bahagianya
kelewatan selain orang yang tertawa sendiri di sudut kamar rumah sakit jiwa,
kalau bukan pasien rumah sakit jiwa itu sendiri? Setidaknya aku bukan pasien
rumah sakit jiwa, namun kebahagiaanku memilikimu itu setara dengan pasien di rumah
sakit jiwa itu.
Terserahlah. Apapun
itu, terimakasih.
Dari
yang amat sangat Mencintaimu,

Komentar
Posting Komentar