Pagi ini aku bangun dengan malas. Setelah shalat subuh, aku ingin
merebahkan tubuhku lagi rasanya. Tapi handphone yang bergetar membuatku
mengurungkan niatku untuk tidur lagi, uuhh dasar mengganggu saja. Aku
membuka pesan singkat yang ada di handphone ku, Dio, ada apa sih dia sms
aku pagi-pagi?
From: Dio
Turun dong, lari pagi yuk biar sehat, hehe.
Dio? kerumahku? pagi-pagi? ngapain? aku melongok ke bawah dari jendela kamarku, motornya ada, dari jam berapa dia di sini? lalu, ku balas pesannya.
To: Dio
Kamu!! lagi-lagi mengganggu ku, aku tidak mau lari pagi ah...malas!!
Tak lama kemudian pintu kamarku di ketuk. Paling ibu, batinku. Dengan malas aku berjalan mendekati pintu, perlahan aku memegang k'nop pintunya dan aku mulai membukanya. Aaaaaaaaaaaaa....!!
*
Hebat!! Dio berhasil meluluhkan hatiku untuk yang kedua kalinya. Aku sedang bersamanya sekarang, lari pagi aah aku ingin menolaknya, tapi kecupannya yang mendarat di dahiku berhasil menghipnotisku, jadilah aku bersamanya sekarang.
"Dio..!"panggil seseorang dari kejauhan.
Wanita cantik, bahkan ia lebih cantik dari ku, tidak gendut, tidak cupu, dan sekarang mulai memeluk...Dio!!
Siapa sih dia? Mengganggu saja uuhh.
"Cia kenalin, ini Nadya temen gue waktu masih di Paris dulu."
Tuhan..kenapa Nadya ini muncul begitu mengejutkan sih, apa ini merupakan cobaan dari Mu? aah aku mendidih.
"Nad, ini Cia, Lucia lengkapnya."ucap Dio mengenalkanku pada Nadya.
Aku bertatapan agak lama dengannya, mungkin kalau adegan kami seperti ini di film akan ada sengatan listrik merah dan listrik biru yang keluar dari masing-masing pasang mata kami.
"Hey, common salaman dong, kenapa kalian diam aja? pake liat-liatan gitu, nanti terpesona lagi."ucap Dio, ku rasa ia melucu, tapi menurutku ia tidak lucu sama sekali.
Mau tak mau aku menjabat tangannya juga, lembut sih tangannya tidak seperti aku yang terlanjur kasar karena merangkap jadi upik abu juga di rumah, maklum pembantu sedang pulang kampung *ups, kok jadi curhat?*
"Oh, ini pengantin mu yang sudah di persiapkan dari kecil?"tanyanya agak sinis.
Memang kenapa kalau iya? tidak suka? bilaaang saja, kita berkelahi disini uuhh.
"Iya hehe, kalian haus nggak? aku beli minum dulu ya kalian ngobrol aja dulu."
"Oke"sahut kami bersamaan.
Uhh Tuhan, ingin rasanya aku menjenggut rambut panjangnya itu menjadi botak seperti tuyul. Ahh tidak, tuyul mungkin terlalu bagus untuknya.
"Berapa lama kenal Dio?"tanyaku
"4 tahun, aku panggil kamu Cia boleh?"
"Ya tentu saja, kamu bisa memanggil ku sesuka mu kok, apa saja."
"Pasrah sekali."sahutnya masih dengan nada sinis.
Ya, aku sudah terbiasa pasrah.
"Oke Cia, kamu siap kan bersaing denganku?"
Bersaing? aduh apa-apaan sih si bule ini, ada-ada saja masa mau bersaing denganku?
"Bersaing? untuk apa?"tanyaku penasaran.
"Mendapatkan Dio."
Dio? hhh Tuhaaan, apa lagi ini.
"Tidak adakah yang lebih bermutu di bandingkan bersaing untuknya Nadya?"tanyaku agak sedikit..menantang.
"Kalau tidak mau, biarkan Dio denganku, bagaimana?"
Dio? Denganmu? ooh ya kalau kata sule jadinya akan "Ohhh tidak bisaa." enak saja mau merebut tunanganku begitu saja, kamu pikir dia itu hadiah di lomba tujuh belasan apa? Aduh jelek sekali aku memberikan perumpamaan, masa Dio di samakan dengan hadiah lomba tujuh belasan? Ah sepele, sudahlah.
"Tidak mau, aku tidak rela, kalau itu mau kamu yasudah aku ikuti sajalah, pokoknya aku tidak rela Dio jatuh ke tangan mu begitu saja."
Akhirnya, aku terjebak.
Nadya langsung menghampiri Dio dan segera mengambil jatah minuman yang sudah Dio belikan.
"Lain kali, kita bertemu lagi ya Cia."ucapnya sambil mengerling ke arahku.
Aku hanya tersenyum saja padanya, entahlah senyum yang ku berikan berarti apa.
*
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku dan mengunci pintu kamarku. Biar saja Ibu penasaran dengan apa yang terjadi padaku tadi saat aku bersama Dio. Aku juga tidak membalas pesan Dio, pikiranku terfokus pada apa yang di katakan Nadya padaku, bersaing huhh. Saingan mendapatkan Dio katanya? Coba saja.
*To Be Continued
From: Dio
Turun dong, lari pagi yuk biar sehat, hehe.
Dio? kerumahku? pagi-pagi? ngapain? aku melongok ke bawah dari jendela kamarku, motornya ada, dari jam berapa dia di sini? lalu, ku balas pesannya.
To: Dio
Kamu!! lagi-lagi mengganggu ku, aku tidak mau lari pagi ah...malas!!
Tak lama kemudian pintu kamarku di ketuk. Paling ibu, batinku. Dengan malas aku berjalan mendekati pintu, perlahan aku memegang k'nop pintunya dan aku mulai membukanya. Aaaaaaaaaaaaa....!!
*
Hebat!! Dio berhasil meluluhkan hatiku untuk yang kedua kalinya. Aku sedang bersamanya sekarang, lari pagi aah aku ingin menolaknya, tapi kecupannya yang mendarat di dahiku berhasil menghipnotisku, jadilah aku bersamanya sekarang.
"Dio..!"panggil seseorang dari kejauhan.
Wanita cantik, bahkan ia lebih cantik dari ku, tidak gendut, tidak cupu, dan sekarang mulai memeluk...Dio!!
Siapa sih dia? Mengganggu saja uuhh.
"Cia kenalin, ini Nadya temen gue waktu masih di Paris dulu."
Tuhan..kenapa Nadya ini muncul begitu mengejutkan sih, apa ini merupakan cobaan dari Mu? aah aku mendidih.
"Nad, ini Cia, Lucia lengkapnya."ucap Dio mengenalkanku pada Nadya.
Aku bertatapan agak lama dengannya, mungkin kalau adegan kami seperti ini di film akan ada sengatan listrik merah dan listrik biru yang keluar dari masing-masing pasang mata kami.
"Hey, common salaman dong, kenapa kalian diam aja? pake liat-liatan gitu, nanti terpesona lagi."ucap Dio, ku rasa ia melucu, tapi menurutku ia tidak lucu sama sekali.
Mau tak mau aku menjabat tangannya juga, lembut sih tangannya tidak seperti aku yang terlanjur kasar karena merangkap jadi upik abu juga di rumah, maklum pembantu sedang pulang kampung *ups, kok jadi curhat?*
"Oh, ini pengantin mu yang sudah di persiapkan dari kecil?"tanyanya agak sinis.
Memang kenapa kalau iya? tidak suka? bilaaang saja, kita berkelahi disini uuhh.
"Iya hehe, kalian haus nggak? aku beli minum dulu ya kalian ngobrol aja dulu."
"Oke"sahut kami bersamaan.
Uhh Tuhan, ingin rasanya aku menjenggut rambut panjangnya itu menjadi botak seperti tuyul. Ahh tidak, tuyul mungkin terlalu bagus untuknya.
"Berapa lama kenal Dio?"tanyaku
"4 tahun, aku panggil kamu Cia boleh?"
"Ya tentu saja, kamu bisa memanggil ku sesuka mu kok, apa saja."
"Pasrah sekali."sahutnya masih dengan nada sinis.
Ya, aku sudah terbiasa pasrah.
"Oke Cia, kamu siap kan bersaing denganku?"
Bersaing? aduh apa-apaan sih si bule ini, ada-ada saja masa mau bersaing denganku?
"Bersaing? untuk apa?"tanyaku penasaran.
"Mendapatkan Dio."
Dio? hhh Tuhaaan, apa lagi ini.
"Tidak adakah yang lebih bermutu di bandingkan bersaing untuknya Nadya?"tanyaku agak sedikit..menantang.
"Kalau tidak mau, biarkan Dio denganku, bagaimana?"
Dio? Denganmu? ooh ya kalau kata sule jadinya akan "Ohhh tidak bisaa." enak saja mau merebut tunanganku begitu saja, kamu pikir dia itu hadiah di lomba tujuh belasan apa? Aduh jelek sekali aku memberikan perumpamaan, masa Dio di samakan dengan hadiah lomba tujuh belasan? Ah sepele, sudahlah.
"Tidak mau, aku tidak rela, kalau itu mau kamu yasudah aku ikuti sajalah, pokoknya aku tidak rela Dio jatuh ke tangan mu begitu saja."
Akhirnya, aku terjebak.
Nadya langsung menghampiri Dio dan segera mengambil jatah minuman yang sudah Dio belikan.
"Lain kali, kita bertemu lagi ya Cia."ucapnya sambil mengerling ke arahku.
Aku hanya tersenyum saja padanya, entahlah senyum yang ku berikan berarti apa.
*
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku dan mengunci pintu kamarku. Biar saja Ibu penasaran dengan apa yang terjadi padaku tadi saat aku bersama Dio. Aku juga tidak membalas pesan Dio, pikiranku terfokus pada apa yang di katakan Nadya padaku, bersaing huhh. Saingan mendapatkan Dio katanya? Coba saja.
*To Be Continued
Komentar
Posting Komentar